“Habis manis, sepah dibuang,” betapa pandainya para sepuh kita membuat perumpamaan. Orang-orang yang dinilai sudah tidak berguna lagi disisihkan begitu saja. Kadang kita marah, kalau diperlakukan seperti sepah. Padahal, kita juga akan membuang sepah itu jika sudah tidak ada lagi rasa manisnya. Ini soal siapa pelaku dan siapa korbannya saja. Kita tidak suka jadi korban, itu saja. Bukankah kita juga tidak ingin menyimpan sepah dirumah? Wajar jika sepah itu dibuang. Yang tidak wajar adalah yang belum menjadi sepah sudah dibuang. Juga tidak wajar jika kita sudah menjadi sepah, tetapi menuntut orang lain untuk terus menerus menikmati rasa manis yang sudah tidak kita miliki lagi. Ngomong-ngomong, ‘sepah’ itu apa sih?
Meski bukan daerah penghasil gula, namun di rumah masa kecil saya terdapat rumpun-rumpun pohon tebu. Kami menggunakan parang untuk memotong batangnya, lalu mengupas kulitnya. Kemudian memotong batang tebu itu menjadi seukuran jari-jari telunjuk. Setelah itu? Kami mengungahnya. Rasa manis memenuhi mulut kami. Lalu tiba saatnya dimana kunyahan itu hanya menyisakan rasa tawar saja. Di mulut kami sekarang
Baca selengkapnya »
Tidak ada komentar:
Posting Komentar